Jumat, 09 Mei 2008

agama dan konflik sosial

AGAMA DAN PLURALISME
(Problematika Konflik Sosial Kebangsaan)
Oleh: Zet. A. Sandia*
(Simpatisan berat Forum Dialog Antar Kita Sulawesi Selatan, sementara ini aktif di LSM sebagai sekretaris Yayasan Insan Cita (YIC) Pusat Makassar dan Koordinator Human Right and Supremacy of Law Division pada Lembaga Studi Insan Cita (LSIC) Makassar.)

Menurut Bernard Lewis, seperti kutip Cak Nur – sapaan pendek Nurcholish Madjid -- bahwa toleransi sebagai manifestasi sikap pluralisme adalah fenomena baru dalam wacana intelektual dengan konsentrasi kepelbagaian agama di Indonesia. Atau persisnya, fenomena ini hadir beriringan dengan periode awal kemunculan gerakan intelektual-kultural di tahun 70-an hingga 80-an yang dimotori oleh figur-figur seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Munawir Sazali, Cak Nur, Abdurrahman Wahid, Romo Manguwijaya, Fiktor Tanja, Frans Magnis Suseno dan TH. Sumartana misalnya. Dan tidak tanggung-tanggung, kuatnya tensi wacana ini telah melahirkan sebongkah konsepsi di seputar persoalan toleransi atau kerukunan antar umat beragama khusunya dan sosial berbudaya dalam makna generiknya.
Berangkat dari situ, kiranya menarik sekali dicermati kehadirannya sebagai penawar, harapan positif, bagi kalangan penganut agama dan agamawan atau dunia keagamaan dalam merenda kehidupan keberagamaan yang lebih kualiatif pada masa mendatang. Paling tidak, jika Arnold J. Toynbee dan Cak Nur kemudian mempertanyakan "apakah ada harapan baik bagi kehidupan beragama di masa depan ? atau lebih prinsipil lagi: adakah kebaikan dalam kehidupan keagamaan bagi generasi yang akan datang" ? maka kesungguhan dan keseriusan mengembangkan wacana pluralisme berikut pembumiannya dapat digarisbawahi sebagai sebuah usaha apresiatif dengan bobot sensifitas dan kontekstualitas yang luar bisa.
Untuk kasus Indonesia, kehendak tulus mengembangkan wacana ini adalah sebuah pilihan sikap dan manifestasi responsibility sosok kompartemen warga bangsa yang memiliki sence of pluralism. Apalagi kehendak itu maujud di saat kondisi bangsa – yang lebih dari satu dasawarsa belakangan secara tak henti-hentinya -- dihadapkan pada sederet turbulance dengan platform SARA (suku, Agama, ras, antar golongan) dan tingkat varitas konflik sosial (ekonomi, politik, hukum) yang teramat kompleks, tak teridentifikasi. Kontradiksi berujung ambiguisme. Sebagai misal, dalam rada tanya, kita selalu dihadapkan pada persoalan: kenapa sehingga agama dalam beberapa kasus kerusuhan selalu diasumsikan sebagai kuda tunggangan politik atau keduanya harus bisa diidentifikasi secara proporsional kemurnian kerusuhan-kerusuhan tersebut, agamakah atau politik ? Lalu, apakah beberapa konflik antar etnik selalu merupakan gambaran nyata "wajah" kesenjangan dan ketidakadilan sosio-ekonomi atau keduanya sungguh tidak semestinya dihubung-hubungkann ? Demikian juga, betulkah tuntutan kemerdekaan di beberapa wilayah Republik ini relatif cukup dimengerti sebagai dampak langsung dominasi serta diskriminasi oleh dan terhadap orang/komunitas tertentu secara historis, politik, ekonomi, hukum dan budaya atau barangkali masih ada persoalan lain yang sengaja dikatupi lantaran kondisinya yang rentan ?
Persoalan-persolan tersebut hingga kini masih kayak benang kusut, gamang. Belum ditemukan formulasi yang cocok untuk penyelesaiannya. Dan sejauh ini, kalaupun ada upaya ke arah itu maka cenderung sangat struktural, formalistik dan serimonial belaka. Contoh yang acap kali muncul ke permukaan adalah seperti perintah mencari kambing hitam, aktor intelektual atau provokator, pengerahan masa (banser, satgas atau pasukan jihad), pegelaran istighosah, ajakan memelihara persatuan dan kesatuan, tobat nasional, konsolidasi nasional, Indonesia berdoa, paling buntut adalah rembug persaudaraan Indonesia dan entah apalagi nanti. Padahal, penyelesaian kompleksitas persoalan agama atau politik, etno sentris atau ketidakadilan sosial-ekonomi dan dominasi-diskriminasi atau merdeka tidak cukup diselesaikan dengan mengandalkan gerakan dan "teriakan" demikian. Secara tentatif, bentuk solusi struktural, formalistik dan serimonial ini hanya berdaya sebagai terapi psikologis memenuhi hajat politik, ekonomi, kemerdekaan, agama atau etnik komunitas yang berkonflik. Sekali lagi, upaya-upaya semacam itu tidak cukup mumpuni menyelesaikan persoalan dan bahkan cenderungan lebih terbuka bagi pengawetan dan penguatan potensi distorsi sosial atau jamrud chaos yang bakal tak berkesudahan (the endless conflict).
Pada plataran demikian, tulisan ini mencoba menawarkan sebuah perspektif sebagai katalisator menerjemahkan berbagai problematika konflik sosial kebangsaan yang kompleks itu kedalam kerangka hubungan agama dan pluralisme. Sudah barang tentu, dengan penuh harap tawaran ini nantinya berenergi mengkonstruksi seuah way out berbagai konflik sosial kebangsaan yang tenjadi, disamping untuk pengembangan sebuah tata atau pandangan dunia wacana keberagamaan, kepelbagaian, kemajemukan (pluralisme) yang lebih akomodatif, kontekstual dan mendepan.
"Mengkalkulasi" Agama (?)
Sebuah hasil penelitian tentang penyebab kerusuhan yang disusun oleh Ipong S. Azhar, menemukan fakta bahwa hampir tidak ditemukan adanya responden yang berdalih bahwa kerusuhan-kerusahan yang terjadi sejauh ini disebabkan oleh sentimen agama. Ini mengindikasikan bahwa semua konlfik sosial yang pernah ada, dengan segenap variasi background (politik, ekonomi maupun hukum dan seterusnya) sungguh tidak memiliki korelasi sama sekali dengan agama.
Lewat temuan itu, bukan tidak menutup kemungkinan, Ipong hendak menunjukan proporsionaltas adikodrati agama, bahwa agama adalah agama, agama adalah kebenaran, agama tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran, sehingga apa saja yang bertentangan dengan kebenaran berarti bertolak belakang dengan atau bukanlah agama. Cukuplah sebagai indikasi, kata Cak Nur, bahwa suatu agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci, yaitu kecenderungan kepada kebenaran. Sebagi contohnya, jika agama mengajarkan tentang pluralisme, saling menghormati atau toleransi antara sesama manusia, pemeluk-pemeluk agama, sementara yang terjadi adalah konflik antar penganut agama, maka apapun simbol agama yang digunakan dalam konflik sosial tersebut sesekali bukanlah sesuatu yang secara langsung bisa saja dengan enteng diasosiasikan kepada agama atau gerakan keagamaan. Tesis ini jelas belum mewakili segenap umat manusia beragama dan masih membutuhkan pengkajian lebih dalam lagi (analisa, kritisasi dan komparasi studi dengan konsentrasi sama).
Sebagai wacana, kesimpulan Ipong tersebut dalam batas-batas tertentu relatif masih merupakan asumsi-asumsi yang bisa saja benar dan bisa juga sebaliknya. Dalam pengertian bahwa untuk menghindari penilaian a priori dan subyektif terhadap keterlibatan atau ketidakterlibatan agama dalam setiap benturan atau konflik sosial maka perlu dilakukan pembuktian atau pengujian lebih dulu. Apakah sensifitas agama itu identik dengan atau kecenederungan provokatif ? Apakah agama masih disebut agama meski disalahgunakan ? Tolerankah bahwa tindakan brutal atas nama agama dapat ditolernsi sebagai tindakah agamais ? Atau agama memang membenarkan atau menghalalkan segala cara dalam menjalankan misi untuk mencapai tujuan sepanjang itu dilakukan demi agama ? dan akhirnya kapan agama tidak mesti dipertentangankan dengan usaha-usama kemanusiaan ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas hendaknya diikuti dengan usaha-usaha identifikasi dan verifikasi persoalan hingga dapat ditentukan kejelasan motif benturan atau konflik sosial yang terjadi. Agamakah, politik, ekonomi, etnik atau privasi. Sehingga, tidak akan ada lagi asumsi bahwa konflik sosial baik vertikal maupun horizontal baik yang terjadi di Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Banyuangi, Tasikmalaya, Sambas, Timor Timur, Irian Jaya, Ambon, Maluku Utara dan Poso itu dipicu oleh ekstrimisme beragama terbonsai politik atau etnik berkedok ketidakadilan sosial-ekonomi atau juga kehendak merdeka bertopeng dominasi-diskriminatif dan seterusnya. Akan tetapi, sudah bisa dipastikan bahwa konflik itu memang benar-benar bernar adalah persoalan politik tok, etnik saja atau agama an sich.
Konflik-konflik sosial di atas, dalam konteks kehidupaan berbangsa jelas sekali merupakan sebuah "tamparan" keras atas citra cita pandangan yang selama ini melekat pada bangsa Indonesia, sebagai bangsa plural, berbudaya dan religius atau berperadaban. Betapa tidak, potensi, khazanah dan kerakteristik warga bangsa yang begitu potensial membangun sebuah tatanan hidup berbangsa yang apresiatif terhadap pluralisme, demokrasi dan hak azasi manusia akhirnya menjadi sesuatu yang kontra produktif. Ini jelas sangat memprihatinkan, patut disayayangkan karena ledakan konflik-konflik sosial tersebut adalah tragedi kemanusiaan (humanitarian disaster), kecelakaan dan nestapa sejarah bangsa Indonesia.
Sudah barang tentu, tanpa menegasi fakta pahit sejarah bangsa, adalah arif jika kesemua fakta itu dijadikan sebagai modus ponen pengembangan misi kemanusiaan atau -- yang oleh Benyamin Frenklin sesebutnya dengan instihah -- proyek kebajikan ke depan. Dan jika demikian adanya, maka yang menjadi pertanyan sekarang adalah masih potensialkah agama mengemban misi kemanusiaan atau proyek kebajikan itu ? karena sosok seperti Sydney Hook misalnya meragukan dan mempertanyakannya: kalau agama itu memang benar namun tidak mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membutikan kebenaran agama yang benar namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya ? Adakah agama itu masih seperti yang digambarkan A. N. Wilson, bahwa ia selalu mengajak kepada yang paling luhur, paling murni dan paling tinggi dalam jiwa manusia. Atau, secara otokritis harus dipertanyakan, apa guna beragama jika hanya untuk "berkonflik ria".
Kritik "padat makna" ini sudah pasti menghentak kesadaran religiusitas umat beragama secara emosional penuh ekstrim. Namun begitu, ada hal diluar kebiasaan yang harus dicandra dari kritik ini, bahwa cara pandang terhadap agama selamanya berimplikasi pada pereduksian makna agama itu sendiri. Tarulah, Wilfred Cantwel Smith yang lebih suka menggunakan istilah faith dari pada religion dalam memaknai agama. Atau dengan kata lain, agama pada tingkat ini jangan sampai lebih menonjolkan sisi eksklusifismenya, truth claime atau arogansi beragama. Dan bukan inklusifime, toleransi atau kearifan beragaman.
Kita mungkin tidak akan pernah sama sekali memiliki kebulatan tekad atau keberanian menjatuhkan vonis "silang" pada agama begitu saja. Walau itu juga tidak berarti bahwa kita harus kehilangan nyali untuk melakukan kritik terhadap cara pandang beragama. Kritik terhadap agama atau cara pandang beragama adalah kelaziman. Dan agama memang tidak kebal kritik, apalagi cara pandang beragama. Artinya, terlepasa dari adanya fakta yang menunjukan ketidakmampuan agama mempengaruhi pemeluknya atau bahwa agama mengajarkan tentang keluhuran, kemurnian dan ketinggian dalam jiwa manusia, agama dan cara pandang beragama tetap harus dikritisi ? Kritik bagaimanapun akan selalu menjadi kebutuhan agama kapan dan dimanapun, karena hanya kritik yang mampu membuat agama dan cara pandang beragama dinamis dan diterima sebagai jalan hidup manusia. Kritik terhhdap agama dan cara pandang beragama merupakan ikhtiar pembebasan kesadaran, pencerahan dan penignkatan kualitas hidup manusia. Jadi kritik itu sendiri adalah keharusan beragama.
Olehnya itu, sudah menjadi tanggungjawab bersama untuk secara otokritik melakukan berbagai pembongkaran atau rekonstruksi terhadap cara pandang tokoh berikut penganut agama demi pengembangan misi kemanusiaan atau proyek kebajikan dimaksud. Artinya, semua agama harus memiliki kesamaan tanggung jawab misi tunggal yaitu memberi keselamatan bagi kehidupan umat manusia di dunia dan sesudahnya.
Berangkat dari situ, maka penguatan pemahaman terhadap pluralisme, kepelbagaian atau kemajemukan agama menjadi agenda yang intenstas sosialisasi harus terus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Dalam pengertian, pertma agenda pluralisme sedapat mungkin menjangkau seluruh wilayah, dari kota higga pedalaman tanpa kecuali dan kedua metode-pendekatan sosialisasi yang digunakan hendaknya berorientasi pada peningkatan kadar kesadaran pemaknaan pluralime (agama) yang lebih holistik- susbtantif dan bukan kompartemental-sloganistis. Pluralisme yang hilang ( ! )
Sampai hari ini kenyataan pluralisme masih menjadi wacana yang relatif kontroversial bagi kebanyakan kalangan agamawan. Bahkan menurut Budhy Munawar-Rahma, pluralisme sudah merupakan salah satu masalah yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa. Betapa tidak, di satu sisi pluralisme secara relatif dipahami sebagai sebuah fenomena problematika sosial dari perjalanan sejarah manusia yang jika tidak disatukan, maka akan sangat potensial menyulut konflik berkepanjangan antar sesama manusia. Dan karena itu, untuk menghidarinya Tuhan kemudian dengan penuh kasih menurunkan agama sebagai jembatan bagi misi penyelamatan umat manusia dari konflik. Pendeknya, semua umat manusia harus berada di bawah satu payung agama. Sementara pada sisi lain pluralisme di pahami sebagai sebuah kenyataan sisi kehidupan manusia yang bagaimanapun adanya tidak bisa dirubah meski oleh agama sekalipun. Agama tidak memiliki otoritas untuk mengadili kenyataan pluralisme. Agama dan pluralisme bukan sesekali merupakan dua relitas yang musti didudukkan secara vis a vis. Sehingganya, bagi setiap agama kenyataan pluralisme adalah sebuah god’s blessing. Dalam mana, pluralisme pada gilirannya akan bernilai kontributif bagi dinamika kehidupan dan keselamatan umat manusia, segenap pemeluk agama di dunia dan di akhirat.
Dalam sejarah agama dan peradaban manapun, jika dikritisi, maka konflik sosial yang terjadi cenderung disebabkan oleh pandangan pertama. Pandangan ini merupakan pandangan mainstream umat beragama. Sebagai contoh kasus misalnya adalah perang salib, perang antara umat Islam dan umat Kristen. Tidak bisa dipungkiri, bahwa fakta sejarah ini sedikit banyaknya telah memberikan andil kontributif bagi tumbuh suburnya sikap sentimental, kecurigaan berlebihan dan berkepanjangan di antara kedua belah pihak -- yang secara regeneratif terwariskan dengan baik hingga kini. Bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim fakta sejarah ini pulalah yang menjadi peyebab lahirnya doktrin klaim kepemilikan kebenaran (the truth claim) bagi agama tertentu dan menyalahkan agama lain. Pendeknya, sejara telah begitu memainkan peran dominan sekaligus determinan dalam mengkonstruksi sebuah cara pandang (welthangchaung, world view) beragama, yang kemudian memberikan kontribusi "miring" bagi pemeluknya dalam mengapresiasi pluralisme. Riskan sekali memang, karena cara pandang terhadap agama berikut fakta sejarah umat beragama yang mengikutinya ternyata terkadang nyaris tak ada bedanya dengan candu -- sebagaimana ungkap Karl Marks -- jika terlalu kasar untuk disebut racun. Dan untuk itu, harus dilakukan kinerja-kinerja intelektual yang seirus untuk penjernihannya.
Dalam sebuah karya kontrovesialnya berjudul Religious Dialoge and Revolution, Hasan Hanafi menawarkan tiga kritik yang harus dilakukan sebagai usaha kinerja intelektua itu: Pertama, melakukan kritik historis, yaitu kritik yang dilakukan terhadap sejarah hingga ditemukan mutivasi orisinil yang mengkonstruksi sebuah fakta sejarah. Kedua, keritik eidetik, yaitu krititk yang dilakukan terhadap kitab suci untuk mendapatkan orisinalitas pesan-pesan Tuhan dan bukan pesan-pesan yang dimanipulasi manusia. Dan Ketiga, kritik praxys, yaitu kritik yang dilakukan terhadap bentuk aksi keberagamaan yang selama ini berlangsung hingga ditemukan formula aksi yang orisinil pula. Ketiga kritik ini merupakan gagasan elaboratif-integralistik, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, satu kesatuan utuh dan sinergis. Ketiganya merupakan piranti paridigma yang "mumpuni" dalam melakukan kinerja intelektual mengkaji kemandulan cara pandang beragama dalam mengapresiasi kenyataan pluralisme.
Pandang Hasan Hanafi ini jelas sekali dan bertujuan mengajak semua kalangan agamawan untuk secara transparan melakukan otokritik terhadap setiap cara pandangan agama yang dianut, khususnya pluralisme. Bagaimana agar agama tidak dilihat sebagai sebuah fakta kebetulan sosiologi yang berhadap-hadapan dengan pluralisme, akan tetapi justru bagaimana agar hubungan keduanya dicandra sebagai sebuah kebenaran perenial, keharusan universal.
Persolannya kemudian adalah mampukah setiap kelompok agamawan atau penganut agama memenuhi tawaran gagasan kontroversial tersebut ? Tidakkah tawaran itu hanya berdaya megundang kejenuhan, pesimisme dan utopisme kalangan agamawan ? Akan tetapi, "plus-minus", begitulah pilihan yang harus diambil jika kita tidak menghendaki "tragedi kemanusiaan" terus berlanjut hanya karena persoalan ambiguisme cara pandangan beragama kita tentang pluralisme atau dosa konflik warisan sejarah dan seterusnya.
Menuju ke arah kinerja intelektual dimaksud, dengan cukup berani dan sarat kritik Alwi Shihab mencoba memberikan komentar tentang batasan pengertian pluralisme. Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Ketiga, tidak dapat disamakan dengan relativisme dan Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkritisme, yang menciptakan agama baru dengan memadukan unsur tertentu. Kritik Alwi ini kiranya relatif cukup bisa digunakan untuk mengkonstruksi sebuah frame kritik historis, eidetik dan praksis guna menentukan posisi harmoni agama atau cara pandang beragama dan pluralisme dimaksud. Bahwa, hubungan antara agama dan pluaralisme adalah sebuah hubungan kodrati, sehingga tidak cukup dibedah dengan hanya bermodalkan asumsi atas nama kemajemukan, kosmopolitanisme, relatifisme atau juga sinkritisisme agama. Namun lebih dari itu adalah bagaimana sikap apresiatif pandangan agama terhadap pluralisme bisa melembaga kedalam mentalitas para tokoh agama dan lebih-lebih lagi setiap umat atau pemeluk agama.
Pada kategori inlah, menurut Cak Nur, pluralisme tidak dapat dipahami dengan hanya mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang hanya menggambarkan kesan fragmentasi dan bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh difahami sekedar sebagai "kebaikan negatif" (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai "pertalian sejati dalam ikatan-ikatan peradaban" (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.
Pluralisme sebagai potensi dan khazanah bangsa Indonesia hari ini kembali harus direkonstruksi jika bangsa Indonesia masih memiliki optimisme membangun sebuah tata warga bangsa madani yang apresiatif terhadap khazanah warga bangsa yang dimiliki. Harus ada komitmen kuat dari kalangan agamawan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa beragama, berbudaya atau beradaban yang menghormati dan menjunjung tinggi pluralisme sebagai platform kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Slogan Bhineka Tunggal Ikanya (berbeda-beda tetapi tetap satu) harus implementatif dalam sikap hidup keseharian penganut agama.
Dalam potret demikian, maka segenap potensi bangsa terkhusus pemerintah secara proaktif harus diarahkan pada upaya terobosan melakukan pembenahan pengembangan kesadaran atas kenyataan pluralisme bagi warga bangsanya. Karena selama ini berbagai usaha yang dilakukan cenderung hanya bersifat klise atau semu. Apa yang terjadi selama ini justru merupakan sebuah proses pengkebirian terhadap makna pluralisme, seperti mobilisasi masa/organisasi menuju unifomisme dan nasionalisme "pucat". Bentuk-bentuk pendidikan warga bangsa dengan pola-pola seperti penataran P4 dalam berbagai bentuknya dan pemberlakukan azas tunggal (Pancasila) misalnya adalah dua contoh kasus dari kebanyakan kasus yang dapat dijadikan bukti pengingkaran akan potensi dan khazanah bangsa.
Bangsa ini memerlukan sebuah pandangan pluralisme sebagai langkah akomodatif terhadap pemeliharaan dan pengembangan khazanah potensi bangsa secara internal dan kontributif bagi sebuah padangan hubungan kemanusiaan antar pemeluk agama baik dalam konteks nasional dan mondial. Untuk itu, sosialisasi pluralisme sebagai suatu proses edukasi dari proyek kebajikan harus sebisanya diterjemahkan kedalam strategi pelembagaan kesadaran pluralisme menjadi mentalitas setiap umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Proses ini harus dimulai dengan usaha-usaha penanaman kesadaran pluralisme baik lewat lembaga-lembaga pendidikan formal, pelatihan-pelatihan advokasi dan yang lebih penting adalah bagaimana agar ada political will (kebijakan) pemerintah yang secara sungguh-sungguh mendukung proses penyadaran dimaksud secara serius dan sistematis. Misalkan saja, bagaimana agar supremasi hukum bisa menjadi garansi bagi pembangunan mentalitas pluralisme warga bangsa. Atau juga seperti gagasan Qasim Mathar, bahwa mungkin harus ada kinerja intelektual atau fatwa kalangan agamawan yang "mengharamkan" tindakan menegasi pluralisme oleh siapapun. "The only thing that we learn from history is that we never learn from it" (Betrend Russel).
Billahi Taufiq Walhidayah
Referensi Tulisan

Abdul Hisyam, Islam Dan Dialog Kemanusiaan Menyimak Metode Studi Agama Wilfred Cantwell Smith, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran Vol. III, No. 2, Jakarta: LSAF Tahun 1992.
Alwi Shihab, Islam Inklusif "Menuju Sikap Terbukadalam Beragama, Cet. III, Bandung: Mizan, 1998.
Amin Abdullah, Pluralisme dan Pendidikan Tinjauan Materi dan Metodologi Pengajaran Kalam dan Teologi dalan era Kemajemukan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar "Pluralisme: Dialog dan KonfliK", kerjasama Interfidei, DIAN dan The Asia Foudation, di Makassar tanggal 21 Agustus 1999.
Arnold J. Toynbee, Menyelamatkan Hari Depan Umat Manusia, Cet. I, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1988.
Budy Munawar Rahman, dalam Komaruddin Hiidayat dan Muh. Wahyuni Nafis (ed.), "Agama dan Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial", Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1995.
Budy Munawar Rahman, Membangun Sebuah Teologi Agama-Agama Tarik Menarik Sikap Pluralitas Versus Sikap Ekslusif. Makalah disampaikan pada Seminar "Pluralisme: Dialog dan KonfliK", kerjasama Interfidei, DIAN dan The Asia Foudation, di Makassar tanggal 21 Agustus 1999.
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I. Cet. II, Jakarta: Puataka Firdaus, 1997.
Nurcholish Madjid, Islam Doktri dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Kemanusiaan dan Kemoderenan. Cet. II, Jakarta: Paramadina, 1992.
Nurcholish Madjid, "Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang". Jurnal Ulumul Quran Vol. IV, No. 1, Jakarta: LSAF, 1992.
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2000.
Nurcholish Madjid, dalam Rark R. Woodward, Jalan Baru Islam Memetakkan Paradigma Mutaakhir Islam Indinesia, Cet. I Bandung: Mizan, 1988.

Kamis, 08 Mei 2008

psikologi

Psikologi

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental

Daftar isi

* 1 Sejarah

* 1.1 Psikologi Sebagai Ilmu Pengetahuan

* 2 Fungsi Psikologi Sebagai Ilmu

* 3 Pendekatan Psikologi

* 4 Kajian Psikologi

* 5 Wilayah Aplikasi Psikologi

* 6 Salah Kaprah Tentang Psikologi

* 7 Referensi

* 8 Lihat pula

* 9 Pranala Luar

Sejarah

Psikologi adalah ilmu yang tergolong muda (sekitar akhir 1800an.) Tetapi, orang di sepanjang sejarah telah memperhatikan masalah psikologi. Seperti filsuf yunani terutama Plato dan Aristoteles. Setelah itu St. Augustine (354-430) dianggap tokoh besar dalam psikologi modern karena perhatiannya pada intropeksi dan keingintahuannya tentang fenomena psikologi. Descrates (1596-1650) mengajukan teori bahwa hewan adalah mesin yang dapat dipelajari sebagaimana mesin lainnya. Ia juga memperkenalkan konsep kerja refleks. Banyak ahli filsafat terkenal lain dalam abad tujuh belas dan delapan belas—Leibnits, Hobbes, Locke, Kant, dan Hume—memberikan sumbangan dalam bidang psikologi. Pada waktu itu psikologi masih berbentuk wacana belum menjadi ilmu pengetahuan.

* Psikologi kontemporer

Diawali pada abad ke 19, dimana saat itu berkembang 2 teori dalam menjelaskan tingkah laku, yaitu:

Psikologi Fakultas

Psikologi fakultas adalah dokrin abad 19 tentang adanya kekuatan mental bawaan, menurut teori ini, kemampuan psikologi terkotak-kotak dalam beberapa ‘fakultas’ yang meliputi: berpikir, merasa, dan berkeinginan. Fakultas ini terbagi lagi menjadi beberapa subfakultas: kita mengingat melalui subfakultas memori, pembayangan melalui subfakultas imaginer, dan sebagainya.

Psikologi Asosiasi

Bagian dari psikologi kontemporer abad 19 yang mempercayai bahwa proses psikologi pada dasarnya adalah ‘asosiasi ide.’ Dimana ide masuk melalui alat indra dan diasosiasikan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu seperti kemiripan, kontras, dan kedekatan.


Dalam perkembangan ilmu psikologi kemudian, ditandai dengan berdirinya laboratorium psikologi oleh Wundt (1879.) Pada saat itu pengkajian psikologi didasarkan atas metode ilmiah (eksperimental.) Juga mulai diperkenalkan metode intropeksi, eksperimen, dsb. Beberapa sejarah yang patut dicatat antara lain: F. Galton > merintis test psikologi. C. Darwin > memulai melakukan komparasi dengan binatang. A. Mesmer > merintis penggunaan hipnosis S. freud > merintis psikoanalisa

Psikologi Sebagai Ilmu Pengetahuan

Walaupun sejak dulu telah ada pemikiran tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan dengan adanya pemikiran tentang ilmu yang mempelajari alam, akan tetapi karena kekompleksan dan kedinamisan manusia untuk dipahami, maka psikologi baru tercipta sebagai ilmu sejak akhir 1800-an yaitu sewaktu Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama didunia.

Laboratorium Wundt

Pada tahun 1879 Wilhem Wundt mendirikan laboratorium Psikologi pertama di University of Leipzig, jerman. Dengan Berdirinya laboratorium ini, metode ilmiah untuk lebih mamahami manusia telah ditemukan walau tidak terlalu memadai. dengan berdirinya laboratorium ini pula, lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan, sehingga tahun berdirinya laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan.

Berdirinya Aliran Psikoanalisa

Berdirinya Aliran Behavioris

Berdirinya Aliran Fenomenologis

Fungsi Psikologi Sebagai Ilmu

Psikologi memiliki tiga fungsi sebagai ilmu yaitu:

Menjelaskan

Yaitu mampu menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasilnya penjelasan berupa deskripsi atau bahasan yang bersifat deskriptif.

Memprediksikan

Yaitu mampu meramalkan atau memprediksikan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasil prediksi berupa prognosa, prediksi atau estimasi.

Pengendalian

Yaitu mengendalikan tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. Perwujudannya berupa tindakan atau treatment.

Pendekatan Psikologi

Tingkah laku dapat dijelaskan dengan cara yang berbeda-beda, dalam psikologi sedikitnya ada 5 cara pendekatan, yaitu

Pendekatan Neurobiological

Tingkah laku manusia pada dasarnya dikendalikan oleh aktivitas otak dan sistem syaraf. Pendekatan neurobiological berupaya mengaitkan prilaku yang terlihat dengan implus listrik dan kimia yang terjadi didalam tubuh serta menentukan proses neurobiologi yang mendasari prilaku dan proses mental.

Pendekatan Prilaku

Menurut pendekatan ini tingkah laku pada dasarnya adalah respon atas stimulus yang datang. Secara sederhana dapat digambarkan dalam model S – R atau suatu kaitan Stimulus – Respon. Ini berarti tingkah laku itu seperti reflek tanpa kerja mental sama sekali. Pendekatan ini dipelopori oleh J.B. Watson kemudian dikembangkan oleh banyak ahli, seperti Skinner, dan melahirkan banyak sub-aliran.

Pendekatan Kognitif

Pendekatan ini menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental, dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi. Jika dibuatkan model adalah sebagai berikut S – O – R. Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang.

Pendekatan Psikoanalisa

Pendekatan ini dikembangkan oleh Sigmund Freud. Ia meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar. Sehingga tingkah laku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan, implus, atau dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan tetap hidup dalam alam bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk dipuaskan.

Pendekatan Fenomenologi

Pendekatan ini lebih memperhatikan pada pengalaman subyektif individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.

Kajian Psikologi

Psikologi adalah ilmu yang luas dan ambisius, dilengkapi oleh biologi pada perbatasannya dengan ilmu alam dan dilengkapi oleh sosiologi dan anthropologi pada perbatasannya dengan ilmu sosial. beberapa kajian ilmu psikologi diantaranya adalah:

Psikologi perkembangan

Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari perkembangan manusia dan faktor-faktor yang membentuk prilaku seseorang sejak lahir sampai lanjut usia. Psikologi perkembangan berkaitan erat dengan psikologi sosial, karena sebagian besar perkembangan terjadi dalam konteks adanya interaksi sosial. Dan juga berkaitan erat dengan psikologi kepribadian, karena perkembangan individu dapat membentuk kepribadian khas dari individu tersebut.

Psikologi sosial

mempunyai 3 ruang lingkup, yaitu :

1. studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya : studi tentang persepsi, motivasi proses belajar, atribusi (sifat)

  1. studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial, perilaku meniru dan lain-lain
  2. studi tentang interaksi kelompok, misalnya : kepemimpinan, komunikasi hubungan kekuasaan, kerjasama, persaingan, konflik;

Psikologi kepribadian

Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, psikologi kepribadian berkaitan erat dengan psikologi perkembangan dan psikologi sosial, karena kepribadian adalah hasil dari perkembangan individu sejak masih kecil dan bagaimana cara individu itu sendiri dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya.

Psikologi kognitif

Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari kemampuan kognisi, seperti: Persepsi, proses belajar, kemampuan memori, atensi, kemampuan bahasa dan emosi.

Wilayah Aplikasi Psikologi

Wilayah Aplikasi psikologi adalah wilayah-wilayah dimana kajian psikologi dapat diterapkan. walaupun demikian, belum terbiasanya orang-orang indonesia dengan spesialisasi membuat wilayah aplikasi ini rancu. misalnya, seorang ahli psikologi pendidikan mungkin saja bekerja pada HRD sebuah perusahaan, atau sebaliknya.

Psikologi pendidikan

Psikologi pendidikan adalah perkembangan dari psikologi perkembangan dan psikologi sosial, sehingga hampir sebagian besar teori-teori dalam psikologi perkembangan dan psikologi sosial digunakan di psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan mempelajari bagaimana manusia belajar dalam setting pendidikan, keefektifan sebuah pengajaran, cara mengajar, dan pengelolaan organisasi sekolah.

Psikologi sekolah

Psikologi sekolah berusaha menciptakan situasi yang mendukung bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi, dan emosi.

Psikologi Industri dan Organisasi

Psikologi industri memfokuskan pada menggembangan, mengevaluasi dan memprediksi kinerja suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh individu, sedangkan psikologi organisasi mempelajari bagaimana suatu organisasi memengaruhi dan berinteraksi dengan anggota-anggotanya.

Psikologi Kerekayasaan

Penerapan Psikologi yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dan mesin untuk meminimalisasikan kesalahan manusia ketika berhubungan dengan mesin (human error).

Psikologi Klinis

Adalah bidang studi psikologi dan juga penerapan psikologi dalam memahami, mencegah dan memulihkan keadaan psikologis individu ke ambang normal.

Salah Kaprah Tentang Psikologi

Psikologi Bukan Ilmu Pengetahuan

Psikologi telah memiliki syarat untuk dapat berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan terlepas dari Filsafat. (Syarat Ilmu Pengetahuan: Memiliki Objek (Tingkah laku), memiliki Metode Penelitian (sejak laboratorium Wundt didirikan psikologi telah membuktikan memiliki Metode Ilmiah),sistematis,dan bersifat universal.

Lihat keterangan lebih lanjut dari bahasan ini dalam artikel Kontroversi ilmu psikologi.

Salah Penggolongan

Berbagai hal yang berbau kepribadian sering dimasukan kedalam psikologi, semisal: ramalan-ramalan seputar kepribadian (palmistry, chirology, dll.) sehingga terbentuk pandangan tentang psikologi bukanlah ilmu pengetahuan.

Terjebak Dengan Kata Psikotes

Psikologi bukan hanya psikotes, tetapi inilah bagian dari psikologi yang paling populer di masyarakat. banyak kalangan yang sinis dengan psikologi karena psikotes, bagaimana psikolog dapat memvonis potensi seseorang dengan hanya selembar test? tidak, masih banyak metode lain yang dapat digunakan, akan tetapi (misalkan dalam test lamaran pekerjaan) sangat tidak mungkin menerapkan semua metode yang dimiliki psikologi dalam waktu yang sempit dan klien yang banyak.

Psikologi Melakukan De-humanisasi

kebalikannya, psikologi memandang setiap individu adalah unik, bahkan psikotes dilakukan untuk lebih memahami keunikan dari setiap individu. Justru, kalangan yang menyamaratakan setiap individu secara tidak langsung memvonis manusia adalah robot (dehumanisasi) yang tidak memiliki keunikan satu sama lainnya.

Parapsikologi Bagian dari Psikologi

Parapsikologi walaupun terdapat nama psikologi bukanlah psikologi ataupun cabang dari ilmu psikologi. parapsikologi berkembang tersendiri terlepas dari psikologi. parapsikologi mempelajari semua hal yang berhubungan dengan manusia dan pikirannya (dalam hal ini, sebagian besar dengan ramalan) sedangkan psikologi hanya mempelajari tingkah laku manusia yang dapat dilihat (observerble) dan dapat diukur (measureable).

Referensi

* Atkinson, Pengantar Psikologi. Interaksara, Batam. (2 jilid)

* Chaplin, James P., Kamus Lengkap Psikologi. Rajawali Press, Jakarta, 2005. ISBN 9-794-21215-6

* Sudarsono, Pengantar Kuliah Psikologi Umum, Fak. psikologi Unas Pasim, 2004.

* Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian. Rajawali Press, Jakarta, 1982. ISBN 9-794-21044-7

Lihat pula

* Psikolog

* Gestalt

* Memori

* Motivasi

* Cinta

* Apathy

* Persepsi

Pranala Luar

* www.himpsi.org website resmi Himpunan Psikologi Indonesia (tips: sebaiknya menggunakan browser internet explorer)

* www.e-psikologi.com artikel psikologi online, juga ada konseling online

* www.psikologi.net jaringan psikologi indonesia

walisongo

Daftar isi

Walisongo

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Arti Walisongo

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Nama-nama Walisongo

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim

Artikel utama: Sunan Gresik

Maulana Malik Ibrahim juga disebut sebagai Sunan Gresik, atau terkadang Syekh Maghribi dan Makdum Ibrahim As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi.[1] Sebagian cerita rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam di tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan yang tersisihkan dalam masyarakat Jawa di akhir kekuasaan Majapahit. Misinya ialah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Pada tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat adalah putra Maulana Malik Ibrahim, Muballigh yang bertugas dakwah di Champa, dengan ibu putri Champa. Jadi, terdapat kemungkinan Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dari ayahnya dan Champa dari ibunya. Sunan Ampel adalah tokoh utama penyebaran Islam di tanah Jawa, khususnya untuk Surabaya dan daerah-daerah sekitarnya.

Sunan Bonang dan Sunan Drajat

Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Mereka adalah putra-putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung, putra Raden Usman Haji yang belum dapat diketahui dengan jelas silsilahnya. Sunan Kudus adalah buah pernikahan Sunan Ngudung yang menikah dengan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Di titik ini (Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat) bertemulah garis nasab Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan keraton Pajajaran, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.

Tokoh pendahulu Walisongo

Syekh Jumadil Qubro

Artikel utama: Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).

Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah buyutnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]

Syekh Maulana Akbar

Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]

Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).

Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.

Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.

Syekh Quro

Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.[4]

Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.

Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.

Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.

Syekh Datuk Kahfi

Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.

Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.

Syekh Khaliqul Idrus

Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.

Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]

Bukti dan analisa sejarah bahwa Walisongo keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut:

  • L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[6] mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

  • van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."

Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

  • Penamaan bahasa para pedagang Muslim yang datang ke Asia Tenggara (terutama Malaka dan Nusantara) dengan nama bahasa Malay (Melayu), yang mirip dengan penamaan bahasa para pedagang dan mubaligh yang datang di abad ke-14 dan ke-15 dari pesisir India Barat, yaitu Gujarat dan Malabar (sekarang termasuk negara bagian Kerala); yang mempunyai bahasa Malayalam walaupun asal-usul mereka adalah keturunan dari Hadramaut.
  • Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
  • Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
  • Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Sumber tertulis tentang Walisongo

  1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
  2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
  3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Lihat pula

Pranala luar

Referensi

  1. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S'Gravenhage.
  2. ^ Istilah maqam, selain berarti kubur juga dapat berarti tempat menetap atau tempat yang pernah dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi Ibrahim di Masjidil Haram.
  3. ^ van Bruinessen, Martin, 1994. Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150, hal 305-329.
  4. ^ Drs. H. Ridwan Saidi (27 Maret 2007). Disampaikan pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Diselenggarakan oleh JIC (Jakarta Islamic Centre), Jakarta. Artikel Republika Online: Jumat, 13 April 2007.
  5. ^ Lihat pula: Pangeran Sabrang Lor.
  6. ^ van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia